2013/09/24

Sukses Mengajar

Oleh: Muhamad Aminudin*

Rekan saya yang berjualan peralatan rumah tangga berpendapat, bahwa menjual habis barang dagangannya dalam waktu singkat belum bisa dikatakan sukses menjual. Seorang penjual dikatakan sukses menjual apabila dia bisa memotivasi pembeli untuk tetap menjadi pelanggan. Jika pelanggan selalu bertanya “Ada barang apa lagi, Pak?” atau juga menyatakan “Kalau ada barang baru, dikabari, lho!” itu tanda-tanda penjual yang sukses menurut versi teman saya tadi.

Ada kontinyuitas, artinya, jika mau dikatakan sukses jualan, ya harus berusaha untuk menjadi penjual yang selalu diharapkan, dinanti, bahkan dikejar oleh pelanggan. Hal itu tentu saja perlu strategi khusus, mulai dari sikap, komunikasinya dan segala bentuk pelayanan lainnya. Pepatah “pembeli adalah raja” harus diwujudkan melalui pelayanan yang baik. Jika barang yang diinginkan tidak ada, maka usahakan hari berikutnya ada. Ini semata-mata untuk melayani pembeli.

Sekarang cerita lain. Ulangan kenaikan kelas kurang dua minggu. Rekan saya yang sama-sama guru berkata kepada saya, “Saya sih tinggal santai, Pak” katanya. “Lho, kenapa tho, Bu?” tanya saya penasaran. “Semua materi sudah habis, sejak minggu kemarin.” Jawab guru tadi. Tanpa respon yang panjang saya hanya menjawab, “O, begitu.” Saya sendiri kurang begitu paham yang dimaksud dengan kata “santai” menurut rekan saya tadi, yang jelas dari senyumannya tampak ada rasa bangga mengutarakan hal itu.

Rasa penasaran memaksa saya untuk menerka kalimat yang diucapka ibu guru tadi. Saya otak-atik dan saya hubung-hubungkan dengan pesan nonverbal yang tampak pada wajahnya, saya beranikan diri untuk mengambil simpulan, bahwa ibu guru tadi merasa sudah “sukses” dalam mengajarnya, tinggal menikmati sisa waktunya untuk berleha-leha.

Kita boleh memaknai “sukses” menurut versi kita masing-masing atau menurut profesi kita masing-masing. Yang jualan baju silahkan memaknai suksesnya sendiri yaitu jika bajunya habis terjual. Yang petani jeruk juga boleh memaknai sukses sendiri, jika jeruknya berbuah banyak dan habis terjual. Akan tetapi, jika kita (seorang guru) kemudian memandang sukses mengajar hanya karena materinya habis, maka tidaklah arif. Makna dan tujuan mulia profesi guru telah direduksi oleh pemahaman sempit yang bersifat pragmatis.

Akibat dari hal itu, banyak guru memposisikan dirinya sebagai pihak yang tugasnya adalah menjejalkan materi kepada siswa sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Jika materinya telah habis sebelum waktunya, maka guru boleh bersantai ria menunggu waktu tes tiba.

Sudah barang tentu anggapan tersebut berdampak pada sikap siswa dalam memahami arti belajar. Siswa beranggapan, setelah guru tuntas memberikan materi pelajaran dan proses evaluasi telah selesai, maka tidak perlu lagi ada aktifitas belajar. Dampak ikutan selanjutnya adalah ketika siswa sudah lulus dari sekolah, mereka merasa cukup dengan apa yang sudah diterima di sekolah, dan tidak perlu lagi mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilannya.

Kita harus menyadari bahwa apa yang kita ajarkan pada siswa akan terus dibawa siswa hingga dewasa. Lingkungan sekolah, termasuk guru memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pembelajaran. Persepsi, tindakan, ucapan, sikap kita akan memperkaya proses pembentukan pola pikir yang sudah ada sehingga menjadi semakin kuat di alam bawah sadar (Elfiky, 2012). Dan, kemudian menjadi pola perilaku yang sulit untuk diubah.

Peran Guru 

Selaras dengan prinsip long live education, proses belajar harus dipandang sebagai proses yang kontinyu, berkesinambungan secara terus menerus sepanjang hayat. Kaitannya dengan hal tersebut, mengajar bisa dipandang sebagai upaya  membangun manusia menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mengajar adalah proses atau tindakan bagaimana membuat si pembelajar (siswa) menjadi baik, menjadi bisa, menjadi tau, dan ingin terus  baik, ingin terus bisa, ingin terus menjadi tau. Jika sudah baik, masih ingin lebih baik. Jika sudah bisa, ingin lebih bisa. Jika sudah tau, masih ingin lebih tau.

Oleh karena itu kita harus memahami betul, bahwa peran guru tidak sekedar sebagai penyampai materi saja dan berhenti ketika materinya habis tersampaikan semua. Masih ada peran lain yang juga penting kaitannya dengan upaya membangun mental pembelajar, yaitu memotivasi siswa agar terus belajar, bertanya, menanti hal-hal baru dari guru setelah satu materi habis disampaikan. Termasuk dalam hal ini, guru harus mefasilitasi dan menumbuhkan kemandirian agar siswa bisa memanfaatkan berbagai sumber belajar yang ada.

Dalam tataran kualitas, justru yang terpenting bukanlah seberapa banyak materi tersampaikan, akan tetapi seberapa jauh siswa termotivasi untuk terus berproses melakukan eksplorasi, bahkan setelah lulus motivasi itu terus tetap terjaga. Itulah makna sukses mengajar yang sebenarnya. Dan, makna sukses itu telah dipegang oleh penjual peralatan rumah tangga yang diceritakan di awal tulisan ini, bahwa kualitas menjual bukan ditentukan oleh seberapa banyak barang dagangannya terjual, akan tetapi sejauh mana pembeli akan terus termotivasi membeli barang dagangannya. Nah, bagaimana dengan Anda yang seorang guru?

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bismillah...
tidak hanya dalam hal mengajar (guru)..dalam medis pun terjadi hal yg sama...ad yg sudah merasa berhasil saat menghilangkan sakitnya saja dan ada yg sampai ke tahap agar tidak terjadi lg sakit tersebut..atau hanya berfokus dalam sakit klien saja tanpa memikirkan faktor lain dr klien it sendiri...mnrut pendapat saya bnyk hal yg mempengaruhi knpa ad yg bersikap kurang arif..entah karena rasa malas..tak ada kreatifitas..tidak peduli..atau saking banyak hal yg dipikirkan...semoga qt semua tetap bijak dalam setiap hal yg qt lakukan..aamiin (bkn lg manggil ya..hehehe)

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews